وفصاحةُ الكلامِ
سلامتُه منْ تَنافُرِ الكلماتِ مجتمعةً، ومنْ ضَعْفِ التأليفِ، ومن التعقيدِ، معَ فصاحةِ كلماتِهِ
Terhindar dari:
1- Tanaafur kalimaat mujtami’atan (ketidaksesuaian lafal antara kata-kata yg terkumpul),
2- Dha’fit-ta’liif (doifnya susunan menurut kaidah nahwu),
3-Ta’qid (kusut/rancu dalam hal pengertian, baik secara lafzhi atau secara ma’nawi). Hal ini beserta fasih kalimah-kalimahnya.
تنافر كلمات
TANAAFUR KALIMAAT
فالتنافُرُ: وصفٌ في الكلامِ يُوجِبُ ثِقَلَه على اللسانِ، وعُسْرَ النطْقِ بهِ، نحوُ:
Tanaafur (kalimaat mujtami’atan) adalah : sifat di dalam kalam yang memastikan berat di lidah dan sulit mengucapkannya.
contoh:
في رَفْعِ عرْشِ الشَّرْعِ مثلُكَ يَشْرَعُ # وليسَ قُرْبَ قَبْرِ حَرْبٍ قَبْرُ
Orang sepertimu adalah dia yang bertugas mengangkat tiang layar.
Di dekat kuburan Harb itu, tidak ada kuburan lain.
كريمٌ متى أمدَحْهُ أمدحْهُ والوَرَى # معي وإذا ما لُمْتُهُ لُمْتُهُ وَحْدِي
Dia itu mulia, kapan saja aku memujinya, orang lain juga ikut memujinya. apabila aku mencelanya, aku sendirian yang melakukan itu sementara orang lain tidak.
Keterangan:
Tanaafur kalimaat mujtami’atan = kumpulan kata minimal dua kata atau lebih yang saling memberatkan antara yang satu dengan yang lainnya dalam pengucapan dan lidah.
Fii ROF’I ‘ARSYIs-SYAR’I mitsluka YUSYRO’ = contoh kalam ini tidak fasih karena mengandung tanaafur kalimaat mujtami’atan, dengan mengulang-ulang tiga huruf (RA, ‘AIN, SYIN). RA’ dan ‘AIN pada empat kata (ROF’I-’ARSYI-SYAR’-YUSYRO’) dan SYIN pada tiga kata (‘ARSYI-SYAR’-YUSYRO’) demikian juga untuk contoh lainnya.
Tanaafur kalimaat mujtami’atan = kumpulan kata minimal dua kata atau lebih yang saling memberatkan antara yang satu dengan yang lainnya dalam pengucapan dan lidah.
Fii ROF’I ‘ARSYIs-SYAR’I mitsluka YUSYRO’ = contoh kalam ini tidak fasih karena mengandung tanaafur kalimaat mujtami’atan, dengan mengulang-ulang tiga huruf (RA, ‘AIN, SYIN). RA’ dan ‘AIN pada empat kata (ROF’I-’ARSYI-SYAR’-YUSYRO’) dan SYIN pada tiga kata (‘ARSYI-SYAR’-YUSYRO’) demikian juga untuk contoh lainnya.
ضعف التأليف
DHA’FUT TA’LIF
وضَعْفُ التأليفِ – كونُ الكلامِ غيرَ جارٍ على القانونِ النحويِّ المشهورِ، كالإضمارِ قبلَ الذكْرِ لَفْظًا ورُتْبَةً في قولِ
Dho’fut-ta’liif : adanya kalam yg tidak sesuai dengan kaidah nahwu yang masyhur. Seperti menyebut dhomir sebelum menyebut lafazhnya atau tingkatannya.
Contoh syahid syair dalam bahar basith :
Contoh syahid syair dalam bahar basith :
جَزَى بنُوهُ أَبَا الغِيلانِ عنْ كِبَرٍ # وحُسْنِ فِعْلٍ كما يُجزَى سِنِمَّارُ
Putranya (bani abu ghilan) membalas kebaikan Abu Gilan dimasa tuanya, dengan balasan sebagaimana dibalasnya orang yg bernama Sinimmar.
dho’futta’lif pada syair diatas ada pada kalimat ” JAZAA BANUUHU ABAL-GHILAANI” menyebut dhamir pada faa’il yang kembali pada maf’ul yg ada dibelakangnya “lafzhan wa rutbatan”. Demikian ini tidak sesuai dengan kaidah pakem nahwu, sebagimana dalam alfiyah bab faa’il oleh ibnu malik:
وشاع نحو خاف ربه عمر # وشذ نحو زان نوره الشجر
التعقيد
TA’KID (kusut, rumit, rancu)والتعقيدُ: أنْ يكونَ الكلامُ خَفِيَّ الدلالةِ على المعنى المرادِ.
Adanya kalam (kalimat) samar dalam penunjukan makna yang dimaksud.
والخفاءُ إمَّا منْ جهةِ اللفظِ، بسببِ تقديمٍ أوْ تأخيرٍ أوْ فَصْلٍ، ويُسمَّى تعقيدًا لفظِيًّا، كقولِ المتنبِّي:
Kesamaran itu baik dari segi lafazhnya, disebabkan takdim (mengedepankan yg seharusnya dibelakang ), ta’khir (mengakhirkan yg seharusnya didepan), atau fashl (pemisahan). Maka dinamakan ta’kid lafzhiy. Seperti contoh perkataan penyair:
جَفَخَتْ وهم لا يَجْفَخُونَ بها بهم # شِيَمٌ على الحسَبِ الأغَرِّ دلائلُ
Karena sesungguhnnya takdirannya adalah:
فإنَّ تقديرَه: جَفَخَتْ بهم شِيَمٌ دلائلُ على الحسَبِ الأغرِّ، وهم لا يَجفخونَ بها.
Adat kebiasaan saling menasehati atas leluhurnya yg mulia, membanggakan mereka. Tapi mereka tidak banggakan diri dengan kebiasaan itu.
(Lihat contoh lain: ikuti)
(Lihat contoh lain: ikuti)
KETERANGAN:
pada syair diatas terdapat FASHL/memisah antar fi’il (JAFAKHAT) dan muta’allaqnya (BIHIM) dengan kalimat sempurna yg mempunyai makna tersediri (WA HUM LAA YAJFAKHUUNA BIHAA).
Kemudian terdapat TA’KHIR mengakhirkan lafazh (DALAAILU) dari muta’allaqnya (‘ALAL-HASBIL-AGHARRI) sekaligus terjadi FASHL antara maushuf (SYIYAMUN) dan sifatnya (DALAAILU) dengan muta’alliqnya sifat yang seharusnya ada dibelakang (‘ALAL-HASBIL-AGHARRI).
Kemudian terdapat TA’KHIR mengakhirkan lafazh (DALAAILU) dari muta’allaqnya (‘ALAL-HASBIL-AGHARRI) sekaligus terjadi FASHL antara maushuf (SYIYAMUN) dan sifatnya (DALAAILU) dengan muta’alliqnya sifat yang seharusnya ada dibelakang (‘ALAL-HASBIL-AGHARRI).
وإمَّا منْ جهةِ المعنى بسببِ استعمالِ مَجازاتٍ وكِناياتٍ، لا يُفْهَمُ المرادُ بها، ويُسَمَّى تَعقيدًا معنويًّا، نحوُ قولِكَ: (نَشَرَ الْمَلِكُ أَلْسِنَتَه في المدينةِ)، مُريدًا جواسيسَه، والصوابُ:(نَشَرَ عيونَه). وقولِه:
Adapun kesamaran dari segi makna, disebabkan penggunaan majaz atau kinayah yang tidak difahami maksudnya, maka dinamakan ta’kid ma’nawiy. Contoh perkataanmu : ” raja itu menyebarkan ALSINATAHU/LIDAH-LIDAHNYA di kota itu” dengan maksud penyelidik-penyelidiknya. Maka yang benar ” menyebarkan ‘UYUUNAHU/MATA-MATANYA”. Dan sebagaimana dalam syair (bahar thowil):
سَأَطْلُبُ بُعْدَ الدَّارِ عَنْكُمْ لِتَقْرُبُوا # وَتَسْكُبُ عَيْنَايَ الدُّمُوعَ لِتَجْمُدا
Aku akan mencari rumah yang jauh dari kalian agar kalian dekat di hati. Dan kedua mataku akan menumpahkan habis air matanya agar MEMBEKU (merasakan bahagia karena telah dekatnya hati)
حيث كَنَّى بالجمودِ عن السرورِ، معَ أنَّ الجمودَ يُكَنَّى بهِ عن البُخْلِ وقتَ البكاءِ
Dimana dimaksudkan penggunaan kinayah dengan kata “JUMUD/BEKU” untuk mengungkapkan rasa bahagia, padahal sesungguhnya kata “JUMUD/BEKU” adalah kinayah untuk sulitnya air mata mengalir di saat sedang menangis.
Fashohan Mutakallim
وفصاحةُ المتكلِّمِ: مَلَكةٌ يُقتَدَرُ بها على التعبيرِ عن المقصودِ بكلامٍ فصيحٍ، في أيْ غرَضٍ كانَ
Fashohan Mutakallim (pembicara) : adalah malakah (bakat sang pembicara) yang mampu menuangkan maksud dengan kalimat fashih, dalam situasi sasaran yang bagaimana pun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar