Jumat, 11 November 2011

SYAIR DALAM PANDANGAN HADITS


Dari beberapa teks hadis di atas menunjukkan terjadinya kontroversi tentang hukum syair. Di satu sisi Rasulullah saw membenarkan dan menyuruh sebahagian dari sahabat beliau untuk melantunkan syair, bahkan beliau sendiri melantunkan syair sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad dan al-Tirmidzi :


عَنِ الْمِقْدَامِ بْنِ شُرَيْحٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قُلْتُ لِعَائِشَةَ هَلْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَمَثَّلُ الشِّعْرَ قَالَتْ رُبَّمَا تَمَثَّلَ شِعْرَ ابْنِ رَوَاحَةَ وَيَقُولُ وَيَأْتِيكَ بِالْأَخْبَارِ مِنْ لَمْ تُزَوِّدِ

Artinya: Dari al-Miqdam bin Syureh, dari Ayahnya, ia berkata, “Aku bertanya kepada Aisyah: ‘Apakah Rasulullah Pernah melantunkan syair?’ Aisyah menjawab, ‘Beliau pernah melantunkan Syair Ibnu Rawahah dan beliau melantunkan: ‘Dan akan datang kepadamu berita dari yang tidak kamu sangka’.”
Namun pada sisi yang lain Rasulullah saw melarang untuk bersyair sebagaimana sabda beliau Saw :

لأَنْ يَمْتَلِئَ جَوْفُ أَحَدِكُمْ قَيْحًا خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمْتَلِئَ شِعْرًا » – رواه أبو داود

Artinya: “Lambung seseorang penuh dengan nanah lebih baik daripada penuh dengan syair”. H.r. Abu Daud
Ketika melihat hadis kedua tentang pelarangan bersyair secara zahir, maka akan ditemukan pelarangan untuk bersyair secara mutlak, sebab Rasulullah Saw menyebutkan bahwa “perut seseorang dipenuhi oleh nanah (yang dapat merusaknya) lebih baik daripada dipenuhi oleh syair”. Atas dasar ini beberapa ulama melarang syair secara mutlak berdasarkan hadis tersebut.
Imam Ibnu Hajar berkata: “Para ulama terdahulu berbeda pendapat tentang apabila isi sebuah kitab seluruhnya adalah syair, Al-Sya’bi berpendapat bahwa hal tersebut (kitab dipenuhi oleh syair) tidak boleh, dan al-Zuhry berpendapat bahwa telah menjadi sebuah sunnah terdahulu bahwa basmalah tidak boleh tercampur dengan syair, sementara Said bin Jubair dan Jumhur serta pilihan al-Khatib bahwa buku yang dipenuhi dengan syair dan basmalah tercampur dengan syair adalah boleh”
Sebenarnya hadis tentang pelarangan bersyair memiliki asabab al-wurud, sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim sebagai berikut:

عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ قَالَ : بَيْنَمَا نَحْنُ نَسِيرُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِاْلعَرْجِ إِذْ عَرَضَ شََاعِرٌ يُنْشِدُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-: خُذُوا الشَّيْطَانَ أَوْ أَمْسِكُوا الشَّيْطَانَ لأَنْ يَمْتَلِئَ جَوْفُ رَجُلٍ قَيْحًا خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمْتَلِئَ شِعْرًا

Artinya: Dari Abu Said al-Khudri, ia berkata, “Ketika kami sedang berjalan bersama Rasulullah Saw di al-’Araj, tiba –tiba seorang penyair membacakan syair (kepada kami) Maka Rasulpun berkata: ‘Tahan syaitan itu, Lambung seseorang penuh dengan nanah lebih baik daripada penuh dengan syair”
Ibnu Baththal berkata: sebahagian ulama berpendapat bahwa syair yang dimaksud dalam hadis adalah syair-syair yang mengandung hujatan terhadap Rasulullah Saw. Akan tetapi Abu Ubaid secara pribadi berdasarkan kesepakatan ulama menganggap bahwa penafsiran tentang makna syair adalah penafsiran yang salah sebab kaum muslimin telah sepakat bahwa satu kalimat yang mengandung hujatan kepada Rasulullah Saw maka akan menjadikan kufur. Akan tetapi dikalangan sebagian ulama melarang syair dan bersyair secara mutlak. Hal tersebut didasarkan perkataan Rasulullah Saw : “tahan Syaitan itu” dan firman Allah yang Artinya: Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. (Q.S. al-Syu’ara’ : 224)
Berdasarkan ayat dan hadis tersebut mereka yang melarang syair secara mutlak menganggap bahwa syair dan bersyair merupkan pekerjaan syaitan yang sesat. Para ahli tafsir seperti al-Thabary berpendapat bahwa para ahli syair tersebut mengikuti jejak orang-orang yang sesat bukan jejak orang-orang yang mendapat petunjuk. Dan yang dimaksud dengan orang yang sesat menurut Ibnu Abbas adalah para pembuat syair dari kalangan orang-orang kafir dan yang lainnya berpendapat yang dimaksud dengan orang sesat adalah Syaitan. Ikrimah berkata bahwa suatu ketika terdapat dua ahli syair yang saling mencaci satu sama lain (dengan menggunakan syair), maka Allah menurunkan ayat ini (al-Syu’ara’:224). Qatadah berpendapat bahwa para ahli syair memuji seseorang dengan hal-hal yang batil dan mencela dengan hal-hal yang batil pula.
Imam al-Qurthuby mengomentari hadis Abu Said al-Khudri dengan mengatakan bahwa para ulama berkata bahwa Rasulullah Saw melakukan hal tersebut –yaitu mencela penyair tersebut- karena beliau Saw telah mengetahui keadaan penyair tersebut, karena penyair tersebut dikenal sebagai penyair yang menjadikan syair-syairnya sebagai jalan untuk mendapatkan penghasilan sehingga dia berlebihan dalam memuji ketika diberi, dan berlebihan dalam mencela ketika tidak diberi, sehingga menyiksa manusia, baik dari segi harta maupun kehormatan. Oleh karena itu mereka yang melakukan hal ini wajib untuk diingkari.
An-Nawawi berkata : syair itu hukumnya boleh selama didalamnya tidak terdapat hal-hal yang keji dan sejenisnya.
Al-Mubarakfury berkata: yang dimaksud dengan memenuhi (perutnya dengan syair) adalah ketika syair telah menguasainya dimana dia lebih disibukkan dengannya dari al-Qur’an dan ilmu-ilmu Islam lainnya, maka hal tersebut menjadi syair yang tercela apapun bentuknya.
Maka dari itu Imam al-Bukhary dalam shahihnya meberikan bab khusus tentang syair dengan nama bab dibencinya syair ketika lebih mendominasi manusia dari al-Qur’an dan dzikir kepada Allah. Jadi apabila seseorang menjadikan al-Qur’an dan Ibadah kepada Allah sebagai kesibukan utama, maka baginya boleh untuk membuat syair dan melantunkankannya selama syair tersebut tidak bertentangan dengan aturan-aturan syari’at.
Berdasarkan analisis dari pendapat para ulama di atas dapat dipahami secara kontekstual bahwa hadis Rasulullah Saw yang menyebutkan secara eksplisit larangan syair dan bersyair bersifat temporal karena syair yang terlarang adalah syair yang mengandung pujian yang berlebihan dan dicampuri dengan kebohongan serta syair yang mengandung cacian, celaan dan hinaan terhadap harkat dan martabat manusia baik secara khusus maupun umum. Sehingga hadis tentang larangan syair dan bersyair hanya dapat dipahami dengan kaidah:
الْعِبْرَةُ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ لاَ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ
Yang dijadikan sebagai patokan adalah kekhususan sebab bukan keumuman lafadh”
Akan tetapi Rasulullah Saw sebagai seorang arab memiliki kecenderungan melantunkan syair dan mendengarkan syair sebagaimana hadis-hadis yang menjelaskan akan kebolehan syair dan melantunkan syair tetapi beliau tidak membuat atau menysun syair karena kedudukan beliau sebagai Rasul hal ini ditegaskan oleh dalam firmannya yang artinya: “Dan kami tidak mengajarkan syair kepadanya (Muhammad) dan bersyair itu tidaklah layak baginya. Al Quran itu tidak lain hanyalah pelajaran dan Kitab yang memberi penerangan” (Q.S. Yasin : 69).
Ayat di atas menunjukkan bahwa Rasulullah Saw tidak membuat atau menyusun syair dan tidak mengatakan sebait syair pun, jika beliau ingin melantunkan syair beliau tidak menyempurnakan atau senantiasa memotong timbangan syair tersebut, sebagai salah contoh sebagaimana disebutkan oleh Aisyah dalam riwayat Ahmad & al-Tirmidzi :

رُبَّمَا تَمَثَّلَ شِعْرَ ابْنِ رَوَاحَةَ وَيَقُولُ وَيَأْتِيكَ بِالْأَخْبَارِ مِنْ لَمْ تُزَوِّدِ

Beliau pernah melantunkan Syair Ibnu Rawahah dan beliau melantunkan: ‘Dan akan datang kepadamu berita dari yang tidak kamu sangka’.”
Penjelasan dari Aisyah menunjukkan bahwas Rasulullah Saw hanya menyebutkan dan melantunkan potongan syair karya Abdullah bin Rawahah pada masa perang Khandak dengan tujuan agar lebih bersemangat, karena sesungguhnya syair karya Ibnu Rawahah menyebutkan :

سَتُبْدِي لَكَ الْأَيَّامُ مَا كُنْتَ جَاهِلًا وَيَأْتِيكَ بِالْأَخْبَارِ مَنْ لَمْ تُزَوِّدِ

Akan tampak kepadamu hari hari dimana kebodohanmu # Dan akan datang kepadamu berita dari yang tidak kamu sangka
Dan banyak lagi riwayat-riwayat lain yang menunjukkan bahwa beliau hanya menyebutkan syair karya sahabat-sahabat beliau dengan cara memotongnya bukan dari syair-yair karya beliau sendiri, karena pelarangan dari Allah. Diantara hikmah larangan Allah terhadap Rasul-Nya untuk menyusun syair dan melantunkannya adalah agar anggapan kaum kafir bahwa Rasulullah Saw adalah seorang ahli syair dan al-Qur’an merupakan syair karya Muhammad Saw terbantahkan.
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hadis tentang larangan syair dan bersyair bersifat temporal karena syair yang terlarang adalah syair yang menyalahi aturan-aturan syariat, dan syair yang tercela adalah syair-syair yang disusun untuk merendahkan martabat manusia secara umum dan kaum muslimin secara khusus. Demikian pula syair yang sangat menyibukkan melebihi kesibukan dalam membaca al-Qur’an dan beribadah kepada Allah.
Adapun syair-syair yang disusun dengan tidak mengenyampingkan apalagi meninggalkan ibadah kepada Allah dengan tujuan untuk menyadarkan manusia dari keterpurukan mereka atau membangkitkan semangat kaum muslimin dan melemahkan semangat kaum kafir dan sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah, maka syair tersebut adalah syair yang dibolehkan dan bahkan mendapatkan posisi terpuji dalam Islam sebagaimana yang pernah diberikan kepada para ahli syair dari kalangan sahabat seperti Hassan, Labid, Abdullah bin Rawahah dan selainnya yang dikenal sebagai ahli syair pada masa mereka. Selian itu larangan mutlak untuk menyusun syair dan melantunkannya hanya dikhususkan kepada Rasulullah Saw dan tidak kepada umatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar